Seiring berjalannya waktu, kehidupan
didunia ini sungguh tak terasa bilamana pola pikir kita sebagai hambaAllah
untuk selalu memikirkan bagaimana kehidupan di akhirat nanti. Dengan kata lain,
kita hidup didunia ini hanya sementara layaknya seseorang yang menikmati
kesegaran seteguk air yang melewati tenggorokan yang setelah itu sudah tidak
terasa lagi kesegarannya. Bulan Desember, bulan dimana akhir dari satu tahun
perputaran tahun masehi yang sudah mendekati titik akhir tanggal menuju tahun
selanjutnya yaitu tahun 2012.
Bunyi bunyian terompet kebanggaan yang
begitu menyenangkan hati yang diiringi keceriaan dari mereka yang
membunyikannya sudah mulai terdengar. Para pencari nafkah yang memanfaatkan
kondisi akhir tahun ini untuk bisa mencari sedikit segenggam nasi dengan menjual
pernak pernik atau instrument-instrument hingga kembang api yang menyeruap
meriah di langit langit malam hari hingga terhitungnya hitungan waktu 00.00 untuk
memeriahkan akhir tahun.
Lalu yang ada dalam benak pribadi kita,
sebenarnya darimana asal mula budaya memeriahkan pergantian tahun itu. Apakah
dalam ajaran islam pergantian tahun adalah sesuatu yang begitu perlu
diperhatikan?, atau hanya sebagai skala perhitungan dalam kehidupan keseharian
kita?, Seperti apakah seharusnya umat islam menyikapi pergantian tahun?
Kemeriahan yang menghanyutkan
Kemeriahan yang menghanyutkan
Perayaan perayaan yang tak jelas akar
tolak ukurnya, dengan didalamnya disertai proses pelaksanaan secara bukan
semestinya yang menjerumus ke dalam kemaksiatan yang meski terbalut kebahagiaan
namun perlu diwaspadai bahwasanya merayakan tahun baru tersebut tidak diajarkan
dalam islam. Seperti yang kita ketahui Nabi Muhammad SAW wafat sebelum di
pakainya penanggalan Hijriah. Para sahabatpun tidak pernah merayakan pergantian
tahun Hijriah.
Awal perhitungan tahun yang
didasarkan peristiwa Hijrah dimulai pada tahun 17 Hijriyah (H), atau 7 tahun
sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. Tepatnya, terjadi waktu zaman pemerintahan
Khalifah Umar bin Khathab. Menurut salah satu riwayat, yang mendorong
perhitungan tahun ini adalah adanya surat dari Abu Musa al-Asyari, amir alias
gubernur di Basrah kepada Khalifah Umar bin Khattab, bahwa ia menerima surat
dari Khalifah yang tidak bertarikh tahun dan hal ini menimbulkan kesulitan.
Pada pembahasan mengenai soal perhitungan tahun tersebut, terdapat
beberapa alternatif yang muncul. Ada yang menawarkan tahun kelahiran
Rasulullah, tarikh kebangkitannya menjadi Rasul, dan ada pula yang manawarkan
patokannya berdasarkan tahun wafat Nabi. Diperoleh keterangan, Dr. Hasan
Ibrahim Hasan dalam Zu’amaul Islam (1953) pernah melukiskan, bahwa pada
suatu hari Khalifah Umar bin Khathab memanggil dewan permusyawaratan untuk
membicarakan perihal sistem penanggalan. Dalam kesempatan itu, Ali bin Ali Thalib
mengusulkan agar penanggalan Islam dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah
sebagai momentum saat ditinggalkannya bumi musyrik.
Usulan itu diterima sidang.
Khalifah Umar pun menerima keputusan dan mengumumkan berlakunya Tahun Hijriyah.
Sebenarnya, Hijrah Nabi sendiri pada Kamis akhir bulan Safar, dan keluar dari
tempat persembunyiannya di Gua Thur pada awal bulan Rabiul Awal, yaitu Senin 13
September tahun 622 Masehi. Tetapi Umar serta sahabat-sahabatnya setuju memulai
tarikh Hijrah dari bulan Muharram tahun itu karena Muharram merupakan bulan
yang mula-mula Nabi berencana berhijrah dan bulan selesainya mengerjakan ibadah
haji.
Dengan adanya kenyataan di atas,
kita mengetahui bahwa Nabi sekalipun tidak pernah memberikan perintah untuk
merayakan pergantian tahun hijriah, begitu juga dengan masehi. Sekedar untuk
kita ketahui saja, perayaan tahun baru ini adalah
biasa dilakukan oleh umat agama lain. Misalnya kaum Yahudi, mereka juga punya
tahun baru dalam penanggalan mereka. Nah, setiap mereka masuk tahun baru Ros
Sahanah, seluruh umat mereka di masa lalu menyambutnya dengan pawai keliling
kota sambil meniup terompet dan pesta semalam suntuk.
Selanjutnya, orang-orang
Cina biasa merayakan tahun baru Imlek. Di masa lalu, mereka berharap kepada
dewa mereka keberkahan. Nah, karena dalam mitos Cina biasanya kalo tahun baru
mereka, selain kebaikan ada juga kejahatan yang dibawa setan. Itu sebabnya,
mereka kudu menyalakan petasan atau minimal nyala api (kini dimodifikasi dengan
kembang api) sebagai simbol untuk mengusir setan.
Subhanallah, maka berhati hatilah dalam bertindak, berperilaku sehendaknya sesuai yang kita peroleh hukumnya atau ilmunya. Jika tidak ada dalam islam, ya tidak perlu dikerjakan.
Subhanallah, maka berhati hatilah dalam bertindak, berperilaku sehendaknya sesuai yang kita peroleh hukumnya atau ilmunya. Jika tidak ada dalam islam, ya tidak perlu dikerjakan.
Firman
Allah SWT:
َالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ
“Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu,” (QS al-Furqan [25]: 72)
Namun sayangnya, dengan penanggalan tahun masehi (menurut aturan Nashrani)
yang digunakan secara internasional, kita jadi merasa lebih dekat banget dengan
budayanya. Seolah-olah hal yang biasa. Maka dalam merayakannya pun kita yakin ,
bahwa teman-teman itu tidak paham silsilahnya. Nah, mari kita berbenah diri
jangan sampai terkontaminasi dengan budaya budaya yang bukan islam dasarnya.
Firman
Allah SWT:
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَْرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ
إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah).” (QS al-An’aam [6]: 116]
Waktu =
alat ukur evaluasi diri
Kawan muslimin muslimat, pergantian siang dan malam, pergantian
hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun, jadikan sebagai alat
ukur untuk mengevaluasi kemajuan diri kita. Karena memang kita diajarkan untuk
itu.
Firman Allah Swt.: “Demi Waktu. Sesungguhnya manusia itu
be-nar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang ber-iman dan
menger-jakan amal saleh dan nasihat me-nasihati supaya mentaati kebe-naran dan
nasi-hat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS al-Ashr [103] 1-3)
Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah orang
yang diberi panjang umur dan baik amalannya, dan sejelek-jeleknya manusia
adalah orang yang diberi panjang umur dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad)
Orang yang pasti beruntung adalah orang yang mencari kebenaran,
orang yang menga-malkan kebenaran, orang yang mendakwahkan kebenaran dan orang
yang sabar dalam menegakan kebenaran. Mengatur waktu dengan baik agar tidak
sia-sia adalah dengan mengetahui dan memetakan, mana yang wajib, sunah, haram,
mana yang makruh, dan mana yang mubah. Intinya harus taat hukum syara.
Itu artinya perubahan waktu ini harusnya kita jadikan momentum
(saat yang tepat) untuk mengevaluasi diri. Jangan malah hura-hura bergelimang
kesenangan di malam tahun baru. Sudahlah merayakannya haram, eh, caranya
maksiat pula. Waduuuh, apa itu nggak dobel-dobel dosanya? Naudzubillahi min
dzalik!
Sobat muda muslim, ada dua
hal yang bikin manusia tuh lupa diri. Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua
nikmat, dimana manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan.” (HR
Bukhari)
Tidak baik jikalau kita menyesal seumur-umur akibat kita menzalimi
diri sendiri. Sebab, kita tidak akan diberi kesempatan ulang untuk berbuat baik
atau bertobat, bila kita sudah meninggalkan dunia ini. Firman Allah Swt.:
فَيَوْمَئِذٍ لاَ يَنْفَعُ الَّذِينَ ظَلَمُوا
مَعْذِرَتُهُمْ وَلاَ هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ
“Maka pada hari itu tidak bermanfaat (lagi)
bagi orang-orang yang zalim permintaan uzur mereka, dan tidak pula mereka
diberi kesem-patan bertaubat lagi.” (QS ar-Rûm
[30]: 57)
Jadi, tidak perlu deh kita
ikutan heboh merayakan tahun baru masehi. Kita evaluasi diri, dan itu dilakukan
setiap hari biar lebih seru. Yuk kita tingkatin terus amal baik kita, jangan
cuma menumpuk dosa. Yup, mulai sekarang tentunya.
Mengutip tulisan dari [solihin]
subhanallah....
BalasHapusMaha Suci Allah . . .
BalasHapus