Page

Kamis, 22 Desember 2011

Teriring Waktu,Berganti Tahun,Moment Berbenah Diri

Seiring berjalannya waktu, kehidupan didunia ini sungguh tak terasa bilamana pola pikir kita sebagai hambaAllah untuk selalu memikirkan bagaimana kehidupan di akhirat nanti. Dengan kata lain, kita hidup didunia ini hanya sementara layaknya seseorang yang menikmati kesegaran seteguk air yang melewati tenggorokan yang setelah itu sudah tidak terasa lagi kesegarannya. Bulan Desember, bulan dimana akhir dari satu tahun perputaran tahun masehi yang sudah mendekati titik akhir tanggal menuju tahun selanjutnya yaitu tahun 2012.
Bunyi bunyian terompet kebanggaan yang begitu menyenangkan hati yang diiringi keceriaan dari mereka yang membunyikannya sudah mulai terdengar. Para pencari nafkah yang memanfaatkan kondisi akhir tahun ini untuk bisa mencari sedikit segenggam nasi dengan menjual pernak pernik atau instrument-instrument hingga kembang api yang menyeruap meriah di langit langit malam hari hingga terhitungnya hitungan waktu 00.00 untuk memeriahkan akhir tahun.
Lalu yang ada dalam benak pribadi kita, sebenarnya darimana asal mula budaya memeriahkan pergantian tahun itu. Apakah dalam ajaran islam pergantian tahun adalah sesuatu yang begitu perlu diperhatikan?, atau hanya sebagai skala perhitungan dalam kehidupan keseharian kita?, Seperti apakah seharusnya umat islam menyikapi pergantian tahun?


Kemeriahan yang menghanyutkan
Perayaan perayaan yang tak jelas akar tolak ukurnya, dengan didalamnya disertai proses pelaksanaan secara bukan semestinya yang menjerumus ke dalam kemaksiatan yang meski terbalut kebahagiaan namun perlu diwaspadai bahwasanya merayakan tahun baru tersebut tidak diajarkan dalam islam. Seperti yang kita ketahui Nabi Muhammad SAW wafat sebelum di pakainya penanggalan Hijriah. Para sahabatpun tidak pernah merayakan pergantian tahun Hijriah.
            Awal perhitungan tahun yang didasarkan peristiwa Hijrah dimulai pada tahun 17 Hijriyah (H), atau 7 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. Tepatnya, terjadi waktu zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab. Menurut salah satu riwayat, yang mendorong perhitungan tahun ini adalah adanya surat dari Abu Musa al-Asyari, amir alias gubernur di Basrah kepada Khalifah Umar bin Khattab, bahwa ia menerima surat dari Khalifah yang tidak bertarikh tahun dan hal ini menimbulkan kesulitan.
Pada pembahasan mengenai soal perhitungan tahun tersebut, terdapat beberapa alternatif yang muncul. Ada yang menawarkan tahun kelahiran Rasulullah, tarikh kebangkitannya menjadi Rasul, dan ada pula yang manawarkan patokannya berdasarkan tahun wafat Nabi. Diperoleh keterangan, Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Zu’amaul Islam (1953) pernah melukiskan, bahwa pada suatu hari Khalifah Umar bin Khathab memanggil dewan permusyawaratan untuk membicarakan perihal sistem penanggalan. Dalam kesempatan itu, Ali bin Ali Thalib mengusulkan agar penanggalan Islam dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah sebagai momentum saat ditinggalkannya bumi musyrik.
Usulan itu diterima sidang. Khalifah Umar pun menerima keputusan dan mengumumkan berlakunya Tahun Hijriyah. Sebenarnya, Hijrah Nabi sendiri pada Kamis akhir bulan Safar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Thur pada awal bulan Rabiul Awal, yaitu Senin 13 September tahun 622 Masehi. Tetapi Umar serta sahabat-sahabatnya setuju memulai tarikh Hijrah dari bulan Muharram tahun itu karena Muharram merupakan bulan yang mula-mula Nabi berencana berhijrah dan bulan selesainya mengerjakan ibadah haji.
            Dengan adanya kenyataan di atas, kita mengetahui bahwa Nabi sekalipun tidak pernah memberikan perintah untuk merayakan pergantian tahun hijriah, begitu juga dengan masehi. Sekedar untuk kita ketahui saja, perayaan tahun baru ini adalah biasa dilakukan oleh umat agama lain. Misalnya kaum Yahudi, mereka juga punya tahun baru dalam penanggalan mereka. Nah, setiap mereka masuk tahun baru Ros Sahanah, seluruh umat mereka di masa lalu menyambutnya dengan pawai keliling kota sambil meniup terompet dan pesta semalam suntuk.
            Selanjutnya, orang-orang Cina biasa merayakan tahun baru Imlek. Di masa lalu, mereka berharap kepada dewa mereka keberkahan. Nah, karena dalam mitos Cina biasanya kalo tahun baru mereka, selain kebaikan ada juga kejahatan yang dibawa setan. Itu sebabnya, mereka kudu menyalakan petasan atau minimal nyala api (kini dimodifikasi dengan kembang api) sebagai simbol untuk mengusir setan.

Subhanallah, maka berhati hatilah dalam bertindak, berperilaku sehendaknya sesuai yang kita peroleh hukumnya atau ilmunya. Jika tidak ada dalam islam, ya tidak perlu dikerjakan.
Firman Allah SWT:
َالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu,” (QS al-Furqan [25]: 72)
            Namun sayangnya, dengan penanggalan tahun masehi (menurut aturan Nashrani) yang digunakan secara internasional, kita jadi merasa lebih dekat banget dengan budayanya. Seolah-olah hal yang biasa. Maka dalam merayakannya pun kita yakin , bahwa teman-teman itu tidak paham silsilahnya. Nah, mari kita berbenah diri jangan sampai terkontaminasi dengan budaya budaya yang bukan islam dasarnya.
Firman Allah SWT:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَْرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS al-An’aam [6]: 116]
Waktu = alat ukur evaluasi diri
Kawan muslimin muslimat, pergantian siang dan malam, pergantian hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun, jadikan sebagai alat ukur untuk mengevaluasi kemajuan diri kita. Karena memang kita diajarkan untuk itu.
Firman Allah Swt.: “Demi Waktu. Sesungguhnya manusia itu be-nar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang ber-iman dan menger-jakan amal saleh dan nasihat me-nasihati supaya mentaati kebe-naran dan nasi-hat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS al-Ashr [103] 1-3)
Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan baik amalannya, dan sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad)
Orang yang pasti beruntung adalah orang yang mencari kebenaran, orang yang menga-malkan kebenaran, orang yang mendakwahkan kebenaran dan orang yang sabar dalam menegakan kebenaran. Mengatur waktu dengan baik agar tidak sia-sia adalah dengan mengetahui dan memetakan, mana yang wajib, sunah, haram, mana yang makruh, dan mana yang mubah. Intinya harus taat hukum syara.
Itu artinya perubahan waktu ini harusnya kita jadikan momentum (saat yang tepat) untuk mengevaluasi diri. Jangan malah hura-hura bergelimang kesenangan di malam tahun baru. Sudahlah merayakannya haram, eh, caranya maksiat pula. Waduuuh, apa itu nggak dobel-dobel dosanya? Naudzubillahi min dzalik!
 Sobat muda muslim, ada dua hal yang bikin manusia tuh lupa diri. Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua nikmat, dimana manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan.” (HR Bukhari)
Tidak baik jikalau kita menyesal seumur-umur akibat kita menzalimi diri sendiri. Sebab, kita tidak akan diberi kesempatan ulang untuk berbuat baik atau bertobat, bila kita sudah meninggalkan dunia ini. Firman Allah Swt.:
فَيَوْمَئِذٍ لاَ يَنْفَعُ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَعْذِرَتُهُمْ وَلاَ هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ
 “Maka pada hari itu tidak bermanfaat (lagi) bagi orang-orang yang zalim permintaan uzur mereka, dan tidak pula mereka diberi kesem-patan bertaubat lagi.” (QS ar-Rûm [30]: 57)
Jadi, tidak perlu deh kita ikutan heboh merayakan tahun baru masehi. Kita evaluasi diri, dan itu dilakukan setiap hari biar lebih seru. Yuk kita tingkatin terus amal baik kita, jangan cuma menumpuk dosa. Yup, mulai sekarang tentunya.

Mengutip tulisan dari [solihin]

2 komentar: